SMA Avicenna Jagakarsa – Presiden ke-4 KH. Abdurrahman Wahid mengatakan “Perbedaan itu fitrah. dan ia harus diletakkan dalam prinsip kemanusiaan universal.”
Ungkapan tersebut merupakan harapan bagi bangsa Indonesia untuk bisa menerima kemajemukan yang ada. Terkait dengan hal itu, Badan Pusat Statistik, pada tahun 2010, merilis bahwa Indonesia memiliki 1331 suku bangsa, 652 bahasa daerah, 6 agama dan berbagai aliran kepercayaan. Belum lagi keragaman budaya, adat, etnis dan lainnya yang semakin memperlihatkan kekayaan keragaman Indonesia.
Namun pada kenyataannya, kebhinnekaan sebagai kekayaan bangsa juga sangat rentan memicu terjadinya konflik serta perpecahan dalam kehidupan masyarakat. Isu-isu rasial kepada individu lain, sikap diskriminatif terhadap etnis tertentu, intoleransi kepada sesuatu yang “beda” cukup sering mewarnai headline berita baik di media sosial maupun media konvensional. Sebagai gambaran empiris, Setara Institute mencatat selama tahun 2020 saja terjadi 180 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, dengan 422 tindakan yang berupa pelarangan pembangunan fasilitas ibadah, intimidasi kegiatan peribadatan, penodaan agama dan pelarangan ibadah dari kelompok tertentu ke kelompok lainnya.
Problematika perihal intoleransi juga dapat dilihat dari platform digital seperti halnya media sosial. Di era disrupsi ditambah efek pandemi, aktivitas komunikasi tak dapat dipungkiri banyak beralih di media sosial. Media sosial telah memberikan dampak luar biasa bagi perkembangan tatanan masyarakat, tak terkecuali dalam konteks kebhinnekaan. Fanatisme tinggi, rendahnya literasi, clikbait yang menggoda, buzzer, hingga berita palsu dapat mendorong orang dengan identitas tertentu bertindak intoleran dan radikal. Kolom komentar menjadi ajang “sok” pintar, provokasi, dan tak jarang saling menjatuhkan terhadap yang berbeda pandangan/keyakinan.
Melihat dari kacamata positif, kemajemukan bangsa Indonesia tersebut dapat menjadi potensi besar bagi bangsa untuk dipandang optimis sebagai kekayaan ibu pertiwi. Potensi optimisme dari kebhinnekaan bangsa Indonesia dapat dilihat dari contoh sederhana figur Greysia Polii dan Apriyani Rahayu. Mereka berdua adalah pasangan ganda putri bulutangkis dari Indonesia yang syarat akan prestasi dunia dan pengakuan internasional, mendali emas yang diraih oleh Greysia Polii dan Apriyani Rahayu di antaranya, yaitu Medali Emas Thailand Open 2017, India Open 2018, Sea games 2019 Filipina, Indonesia Masters 2020, Barcelona Spain Masters 2020 dan yang terbaru ini adalah Olimpiade Tokyo 2021. Di tengah banyaknya prestasi yang menyelimuti pasangan ganda putri tersebut, ada hal menarik untuk ditilik dari sisi personal keduanya.
Pertama, mereka berdua memiliki ciri fisik yang berbeda, mulai dari gaya rambut, warna kulit dan perbedaan fisik lainnya. Kedua, mereka berbeda keyakinan/agama, Nasrani dan Muslim. Ketiga, mereka berasal dari etnis yang berbeda, keturunan Tionghoa dan Minahasa. Serta perbedaan lainnya seperti perbedaan cara berfikir atau metode bermain bulutangkis. Namun, meskipun memiliki banyak sekali perbedaan, mereka dapat menjadikan perbedaan tersebut potensi besar untuk mendatangkan prestasi bagi bangsa dan negara, mereka mampu bersatu dan menghilangkan egosentris untuk mau bekerja sama, bergotong royong membawa nama baik negara, mendatangkan prestasi dan menjadi legenda bulu tangkis dunia.
Perjuangan mereka pun tidak mudah, saat kecil Apriyani Rahayu hanya diberi raket usang dan tali senarnya sudah putus karena keluarganya memiliki keterbatasan ekonomi. Sampai akhirnya karirnya berkembang dan bergabung dengan Pelatnas di tahun 2017. Sejak saat itu, Apriyani mulai bermain di level senior dan diduetkan dengan Greysia Polii. Dipertemukan dengan kondisi personal dan sosial yang berbeda tidak membuat pasangan ini menolak satu sama lain, justru mereka bisa saling menerima satu sama lain, berlatih dan berjuang bersama hingga mengharumkan nama bangsa. Greysia mengatakan Prestasi ini adalah mimpinya untuk mencetak sejarah dalam keikutsertaan Olimpiade. Bagi Greysia, ini adalah penampilannya yang ketiga di Olimpiade setelah 2012 di London dan 2016 di Rio. Sementara itu Apriyani, 23 tahun, pemain termuda di ganda putri Olimpiade Tokyo 2020 mengatakan, ia pantang menyerah dan percaya pada pasangan tandingnya. Mereka berdua adalah bentuk nyata dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Mereka berdua adalah contoh nyata dari sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia. Itu artinya setiap warga negara Indonesia seharusnya juga bisa membuat keberagaman bangsa menjadi potensi untuk bersatu dan mendatangkan kebermanfaatan antar sesama. Lantas, bagaimana upaya atau strategi yang dapat dilakukan generasi muda dalam “Vis a Vis” (berhadap-hadapan) dengan kebhinekaan? Setidaknya pemuda adalah sosok yang paling relevan sebagai ujung tombak dalam mengembangkan sikap toleran dan nilai-nilai persatuan.
Pemuda merupakan generasi yang memiliki karakteristik identik dengan teknologi, internet, dunia virtual, fleksibel dan toleran pada perbedaan budaya. Dalam kehidupan nyata pemuda bisa bersosialisasi dan bergotong royong dengan semua pihak dalam mengerjakan suatu hal yang bersifat kolektif, pemuda juga bisa membiasakan diskusi bermusyawarah dalam menanggapi sesuatu, serta mempelajari juga tokoh-tokoh dengan kisah toleransi dan bermakna persatuan layaknya Greysia Polii dan Apriani Rahayu atau figur lainnya.
Upaya yang juga bisa dilakukan pemuda dalam “vis a vis” dengan keberagaman khususnya di media sosial antara lain: membiasakan aktifitas yang positif di media sosial, dengan mencari infromasi atau belajar melalui sosial media. Pemuda sudah seharusnya memulai untuk mengikuti (follow) akun-akun yang berisi informasi yang dapat dipertanggungjawabkan substansinya seperti akun berita atau pengetahuan. Tidak hanya mengikuti, tetapi juga mengimpelementasikan informasi tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan manfaat. Selain itu, pemuda juga diharapkan untuk berkomunikasi santun di sosial media baik dalam membuat status, postingan, dan dalam berkomentar dengan tidak menyinggung pihak tertentu atau SARA.
Pemuda juga jangan mudah menyebarkan berita yang belum pasti dan diketahui kebenarannya (hoax) dan bersifat provokatif serta berisi ujaran kebencian. Jika terdapat hal yang bertentangan dengan norma di media sosial, pemuda bisa secara aktif melakukan “report” atau melaporkan akun tersebut sebagai upaya “menjemput” sila ketiga Pancasila.
Berdasarkan berbagai upaya tersebut diharapkan Indonesia dapat jauh lebih arif dalam mengantisipasi keberagaman dan tidak adanya perpecahan yang diakibatkan oleh hal tersebut, lebih bijaksana dalam menanggapi perbedaan pendapat, serta lebih toleran dalam memandang perbedaan keyakinan. Rasa optimis itu tentu harus senantiasa dipupuk dan diupayakan. Mari menjemput sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia. Selamat Hari Ulang Tahun Ke-76 Indonesiaku. Indonesia Tangguh…Indonesia Tumbuh….Merdeka !
Oleh :
Alif Fadillah Aryatama
Siswa SMA Avicenna Jagakarsa
Leave a Reply